Cerpen ini dibuat pada tahun 2006 dan merupakan kisah nyata yang nurul sendiri alami, selamat membaca..
________
“Assalamualaikum.” Salam Apa (ayah, pen). Aku menjawabnya tanpa
mengalihkan pandanganku pada TV yang menayangkan acara favoritku. Aku merasa tidak ada yang aneh ketika dating Apa
langsung menanyakan keberadaan Ummi. Apa langsung menemui Ummi dan mengobrol di
kamar. Aku diam saja tidak mengerti. Namun itu hanya awal ketika aku mulai merasakan adanya keganjilan dari
percakapan itu. Aku mendengar suara tangis Ummi yang samar. Segera aku bangkit
meninggalkan semua aktivitas menontonku.
Aku masuk dan kulihat Ummi menangis
di kamar, Apa ada disana menyertai. Aku semakin tidak mengerti.
“Ada apa, Ummi?” tanyaku penasaran.
Tak sedikitpun terseirat di benakku bahwa Apa yang menyakiti Ummi. Mataku mulai
berkaca-kaca, maklum aku adalah seorang wanita yang tidak tahan untuk ikut
menangis ketika melihat seseorang menangis apalagi ini adalah Ummi yang aku
sangat sayangi.
Ummi belum berniat untuk
menceritakan sesuatu padaku, aku berdiam saja, menunggu Ummi tenang dulu. Cukup
lama aku menunggu.
“ini bukan tangis sedih.” Ucap
Ummiku dengan suara serak dan masih sedikit terisak.
Aku semakin tak mengerti. Apa
tersenyum penuh arti dan meninggalkan kami berdua.
“apa itu, Ummi?” aku semakin
penasaran.
“Apa baru dapat kabar, insya Allah, Apa
ama Ummi bakal ada yang menghajikan.”
Aku terhenyak tak percaya. “benar
itu, Ummi!”
“baru kabar tapi Ummi udah seneng
banget!” jawab ummiku dengan mata yang terus mengeluarkan air.
Kuucapkan hamdalah berkali-kali.
Semua ini pantas untuk Apa dan Ummiku, bagiku mereka adalah orang tua yang
tiada duanya. Ummi yang sejak pertama menempati rumah ini sudah mengbdikan
dirinya untuk masyarakat, Ummi mengajar ngaji ibu-ibu dan anak-anak yang benar-benar berniat belajar tanpa
mengharapkan uang sepeser pun. Apa seorang ayah berwibawa yang memiliki sifat
optimis, Apa bahkan rela kehilangan kesempatan menjadi pegawai negeri hanya
karena takut mengucap sumpah karena Allah yang memiliki banyak konsekuensi.
Sosok mereka bagiku adalah sebagai contoh terbaik, mereka bukan orang
materialis yang sibuk mengurusi uang tanpa peduli sesama.
Esoknya ketika aku pulang sekolah,
kutemukan wajah sumringah Ummi.
“ada berita apa lagi nih, Mi?
tanyaku sambil mencium tangannya.
Ummi hanya tersenyum sambil
menyodorkan buku tabungan kehadapanku. Aku melihat nominal uang yang tertera
pada tabungan itu. 60.000.000. mataku terbelalak kaget, ketika aku melihat
wajah Ummi, lagi-lagi Ummi menangis, yah Ummi…
“kalo langsung dapat uangnya mungkin
bakal ragu-ragu buat gunain ibadah.” Ujar Ummi memulai pembicaraan.
“iya lah, Mi! liat nominalnya aja,
subhanallah kapan lagi coba punya uang sebanyak itu. Sebenernya siapa sih yang
mau ngehajiin, Mi?”
“wallahua’lam, beliau tidak mau
mengatakan namanya yang jelas saudaranya yang jadi perantara kenal Apa.”
Aku mengangguk-angguk saja. Waktu
cepat berlalu, undangan Allah kepada ummatNya untuk betrtamu ke Makkah,
benar-benar terbukti, proses pendaftaran Ummi dan Apa juga sangat cepat. Walau
di kota besar sekaliber Bandung yang biasanya jika daftar tahun ini, berangkat
hajinya bisa dua atau tiga tahun lagi. Namun proses Ummi sangat cepat, tahun
itu Ummi daftar tahun itu juga Ummi berangkat bersama Apa.
Perpisahan memang kadang pahit,
walau perpisahan ini hanya sementara. Sejak dari rumah sampai tempat bus jamaah
haji, aku tak henti menangis. Entahlah Ummi sudah banyak berbicara malam
sebelum keberangkatan, seakan Ummi sudah memasrahkan hidupnya jika ia tidak
kembali.
“Pa, jagain Ummi. Pokoknya Ummi
harus pulang lagi.” Kataku pada Apa.
“insya Allah, percaya aja Ummi dan
Apa pasti pulang dengan selamat.”
Tangan merekapun aku lepas ketika
mereka sudah harus berkumpul dengan rombongan yang lain. Dalam perjalanan
pulang aku tetap menangis. Terngiang kembali kata-kata Ummi malam tadi, “kalo Ummi gak pulang, jangan lupa ada
sedikit uang di lemari pake dulu aja. Jangan lupa harus baik ama teteh dan Aa
jangan bertengkar, saling mengalah, makan teratur jangan tidur terlalu malam.”
Aku harus meridhokan semuanya, aku
akan berusaha terus untuk berdoa untuk kesehatan dan keselamatan Ummi dan Apa.
Akan aku tunggu terus kepulangan mereka..
Dari memori
tahun 2006
No comments:
Post a Comment