“bang…. Bang!”
Surya tersadar dari lamunannya saat
sang adik, indra
menepuk bahunya dengan cukup keras. “kenapa, ndra?”
“abang nih bukan contoh abang yang baik, masa
pagi-pagi gini udah ngelamun aja.”
Surya tersenyum mendengar perkataan adik semata
wayangnya itu.
“ngelamunin apa sih, bang? Jangan-jangan yang ga
bener lagi.” Goda Indra cengengesan.
“hush, ada-ada aja nih.” Jawab Surya ditemani dengan
senyum yang sedikit pahit kali ini.
“kalo abang mikirin sekolah Indra, ga usah dipikirin,
bang. Indra mutusin untuk kerja dulu setelah lulus SMA. Sekitar satu sampai dua
tahun, baru setelah itu insyaAllah kalo biayanya cukup, Indra bakal nyari
universitas untuk kuliah. Jangan terlalu dipikirin ya, bang.”
Surya mengangguk ada guratan sedih di mukanya. Namun
ia merasa bangga karena adiknya berusaha untuk meringankan beban nya. Surya
lalu membelai kepala adiknya itu. “abang bangga sama kamu, ndra.”
“indra gitu, siapa dulu abangnya.” Jawab Indra dengan
senyum cengengesannya.
Kehidupan tidak berjalan mudah, sejak ayah mereka
meninggal dunia, tidak banyak yang bias dilakukan sepasang kakak beradik itu.
Ibu mereka meninggal sudah lama sekali ketika itu saat melahirkan Indra,
sedangkan sang ayah yang hanya seorang buruh bangunan pun harus meninggal
karena kecelakaan di tempat kerja, tidak ada yang berbeda, tidak ada yang
bertanggungjwab atas insiden kecelakaan itu. Uang tiga juta rupiah yang
diberikan sang mandor atas ungkapan bela sungkawa atau atas perasaan bersalah,
tidak bias membuat mereka hidup dengan kecukupan, ya, apalah arti tiga juta
rupiah, sehemat-hematnya Surya mengeluarkan uang itu, dalam 3 bulan uang itu
pun habis tak bersisa. Kini Surya membantu para tetangga saat panen tiba, tidak
banyak yang bias ia dapat, tapi setidaknya sepuluh kilo beras pasti ia bawa
untuk menjamin bahwa adiknya tidak kelaparan.
@ @ @
Seminggu yang
lalu, Surya bertemu dengan seorang pria saat ia tengah mengangkut hasil panen
ke sebuah truk. Pria itu awalnya hanya bertanya-tanya tentang kemana beras itu
akan diangkut, berapa rata-rata hasil panen, dan akhirnya perbincangan mereka
membawa Surya ke warteg terdekat saat sang pria mengajaknya makan bersama.
“Nama gua,
Tony. Lu?”
“Surya,
bang.” Jawab Surya.
Pria yang
bernama Tony itu memperhatikan sejenak Surya dari ujung sandal jepitnya sampai
kepalanya yang ditutupi topi. “lu punya badan bagus, berapa karung beras lu
bias angkat?”
“sekali
angkut tiga karung, kalo masih pagi bias empat karung.” Pria itu
manggut-manggut mendengar jawaban Surya.
“Lu mau ga
ikut gua ke kota?”
“buat apa,
bang?”
“kerja lah,
masa buat jadi pajangan.”
Surya bingung
dan masih tak paham, “gua ngerti banget, lu disini jadi kuli ngangkut hasil
panen paling dapat berapa, kalo lu ikut gua, gua jamin penghasilan lu bias 10
kali lipat dari hasil lu angkut-angkut ga jelas gitu. Kerjaannya juga ringan,
berkeringat sebentar doang.”
“kerjanya
apa, bang?” Tanya Surya setelah tahu arah pembicaraan mereka.
“jadi supir
atau kernet bus. Mau?”
Surya
terdiam, dalam hati ia merasa tawaran bang Tony bukan tawaran yang buruk tapi
disisi lain ia tidak tega meninggalkan adiknya, Indra.
“Ga usah lu
jawab sekarang, gua seminggu ini masih ada di desa soalnya ada keperluan. Kalo
lu setuju, lu, gua tunggu di stasiun kereta, kita ke Jakarta bareng. Ingat
seminggu lagi ya, jam 10.” Setelah berkata seperti itu Tony pun pergi sambil
sebelumnya membayar tagihan makan mereka.
@ @ @
Sampai lah
seminggu semenjak perjanjian itu. Dan Surya belum sama sekali memberitahu
kepada Indra tentang rencana kepergiannya itu.
“ndra.”
“kenapa,
bang?”
“seminggu
yang lalu ada yang nawarin pekerjaan ke abang.”
“wah bagus
tuh, bang.”
“tapi di
Jakarta.”
Indra
terdiam, Surya menunggu reaksi adiknya.
“jadi apa,
bang?”
“katanya sih
kalo ga jadi supir jadi kernet bus.”
“kalo abang
mau pergi ga papa, bang.”
“abang janji,
bakal ngirimin uang tiap bulan ke rekenng mu, ndra. Kamu ga apa-apa sendirian?”
Indra
tersenyum, “ga papa lah, bang. Indra udah gede juga. Abang ga usah khawatir, pa
Mujab tetangga kita juga baik. Abang bias ngabarin keadaan abang ke pa Mujab
lewat telepon.”
Surya terharu
mendengar jawaban indra, tak terasa matanya berkaca-kaca.
Indra juga
menangis, “abang sering kabarin ya.”
Itulah
percakan terakhir Surya dan Indra dan kini Surya sudah ada di stasiun tempat
bang Tony pernah janji bertemu dengannya.
@ @ @
“bukan ini
yang saya mau, bang.”
PLAk, sebuah
tamparan mendarat di pipi Surya. Surya meringis kesakitan. Pipinya memerah.
________________________________
Cerpen ini adalah cerpen terberu yang sedang dibuat dan belum rampung, semoga ada yang berkenan membaca dan memberikan saran dan kritik. Mohon maaf atas kesalahan dan kejelekan tulisan yang dibuat. :)
No comments:
Post a Comment