“bukan ini
yang saya mau, bang.”
PLAk, sebuah
tamparan mendarat di pipi Surya. Surya meringis kesakitan. Pipinya memerah.
“terus lu mau
kerja apa? Lu kira gampang nyari duit di kota besar?”
“tapi waktu
itu abang janjiin saya kerja jadi sopir atau kernet.”
Protes Surya
ditanggapi dengan cengiran Tony disertai tawa terbahak yang menakutkan,
setidaknya itu sangat menakutkan di telinga Surya. Tony lalu memberi arahan
pada anak buahnya dan tak lama kemudian dua orang telah memegangi Surya dan
satu orang lagi sibuk memukuli tubuh Surya.
“Lu pilih aja
jadi gembel di kota ini atau nurutin apa yang gua mau.”
Surya tak
menjawab hanya ringisan yang keluar dari bibirnya.
“saya mau pulang
saja, bang.” Susah payah Surya mengucapkan kalimat tersebut, darah segar
mengucur dari ujung bibirnya. Tony menjambak rambut Surya dan memaksanya untuk
bertatapan dengan Tony. “he, lu kira gua bawa lu kesini ga pake duit. Lu boleh
pulang tapi setidaknya beroperasi sepuluh kali. Ngerti!”
Surya tidak
mampu lagi menjawab karena anak buah Tony sudah memukuli tubuhnya lagi.
@ @ @
Disinilah Surya kini, disebuah
bus kota yang padat, berjejal dengan yang lain, mencari celah agar ia bias
mengambil sesuatu yang berharga, Hp, uang atau bahkan perhiasan. Inilah dirinya
kini, seorang copet.
“kiri,” teriak surya. Ia
merapatkan jaket ke tubuhnya dan menarik topi untuk menutupi wajahnya. Sebelum
bus benar-benar berhenti, Surya sudah melompat dan berlari sekencang yang dia
bias. Di sebuah warteg yang gelap, Surya berusaha mengatur nafasnya yang
terengah, dengan bergetar ia keluarkan sesuatu dari jaketnya, sebuah dompet
yang baru saja dia ambil dari seseorang di bus tadi. Surya melirik isi dari
dompet itu, setumpuk uang kertas berwarna merah berada disana. Surya semakin
bergetar, hatinya merasa bersalah dan air mata pun mengalir dari matanya.
“astagfirullah.” Gumamnya sembari tetap menangis.
“bang.” Surya menyodorkan dompet
hasil curiannya pada Bang Tony, Tony menyeringai melihat isi dari dompet itu,
setelah mengeluarkan isinya, tanpa merasa berdosa Tony melemparkannya ke
perapian yang menyala.
“bang, saya mau pulang. Bukannya
isi dari dompet itu cukup untuk mengganti biaya perjalanan dan biaya hidup saya
selama disini.”
Bang Tony melirik Surya dengan
tatapan tak suka. “Gua bilang apa kemaren? Sepuluh kali, lu ngerti ga apa
artinya sepuluh kali.” Bang Tony lalu menyambar Koran yang ada dimejanya dan
memukulkan ke kepala Surya berulang kali. Surya menunduk, tangannya mengepal
ingin rasanya ia melawan.
“berani lu macam-macam sama gua,
adik lu gua patahin kakinya.”
Surya kembali menunduk dan ia
pun memasrahkan dirinya dipukuli lagi.
@ @ @
Surya semakin ahli dalam hal
mencopet di bus, kereta, ataupun dipasar, kini tangannya lihai untuk mencari
kesempatan dan mengambil saat target lengah. Ia pun merasa tidak lagi merasa
bersalah seperti saat pertama kali mencopet. Tapi ketika ia teringat
Indra,adiknya.Ia merasa bersalah apalagi jika Indra tahu, abangnya yang sangat
dia sayangi kini telah berubah menjadi seorang pencopet.
“penuhi janji, abang.” Surya
berkata penuh harap, dompet ke sepuluh ia serahkan pada Bang Tony. Tony seperti
biasa hanya menyeringai.
“lu itu udah bias jadi ahli kalo
lu tetep disini, lu bakal kaya setelah dompet ke sepuluh ini, selanjutnya
dompet ke sebelas dan seterusnya isinya bakal jadi fifty-fifty, setelah dompet
ke 50 lu cuman cukup bayar setoran ma gua, berapa kali pun lu beroperasi.
Surya terdiam, hati kecilnya
yang telah berubah menjadi gamang.
“lu bias sekolahin adik lu, lu
bias kirim uang tiap bulan biar adik lu hidup enak di desa. Gimana? Penawaran
gua?”
Surya kembali terdiam. Bayangan
percakapannya dengan Indra kembali terbayang, ia ingat adiknya mengizinkan Surya ke Jakarta karena Indra tahu abangnya
akan mendapat pekerjaan halal, bukan seperti yang ia lakukan sekarang.
“saya mau pulang, bang.” Surya
kembali mengeluarkan suara.
Kini bang Tony yang terdiam, “lu
tuh dungu banget ya. Tapi gua orangnya ga pernah ingkar janji. Lu boleh pergi,
syaratnya kalo lu laporin gua ke polisi, lu tau kan yang bakal terjadi ma adik
lu?”
“saya ngerti, Bang.”
Tony lalu menyuruh anak buahnya
mengambil tas dan barang-barang Surya. Tas butut yang berisi beberapa helai
pekaian itu dilemparkan . Surya menerimanya dan langsung pergi.
@ @ @
Disinilah Surya kini, disebuah
bus antarkota yang penuh, tapi ia sekarang adalah penumpang. Surya berniat
memejamkan matanya sekejap, saat matanya menangkap seorang ibu yang tengah
duduk, tasnya terbuka dan ada amplop tebal disana. Sekejap Surya pun merasa ada
kesempatan untuk mengambil amplop itu. Hati Surya berkecemuk, ia sama sekali
tidak memiliki uang bahkan untuk bus saja ia sebenarnya masuk secara illegal,
dan bagaimana ia harus menjelaskan pada Indra jika ia pulang tanpa membawa uang
sepeserpun, harus kah ia mengaku jika abangnya yang sangat dibanggakan itu
telah menjadi seorang copet di Jakarta.
Dengan mengendap, Surya
mendekati tas berisi amplop itu. Bus yang penuh sesak itu memudahkan Surya
untuk melancarkan aksinya. Ketika tangannya telah berhasil memegang amplop
tersebut, Surya segera mendekati pintu keluar bus dan meminta sopir
menghentikan busnya, Surya lalu loncat seperti biasa sebelum bus berhenti
sempurna. Ia tahu tempat itu, dengan memakai dua kali angkutan umum, ia bias
sampai di desanya. Surya melirik isi amplop tersebut, pelan-pelan Surya
menghitungnya. Surya tersenyum saat tahu uang tersebut berjumlah lima juta.
‘ini jadi yang terakhir ya Allah, tidak akan ku ulangi lagi.’ Bisik
hati Surya. Dengan uang itu, ia berencana akan membuka warung kecil di rumah
kecilnya bersama Indra.
Langkah Surya ringan ketika ia
hamper sampai di rumahnya, ia bias membayangkan senyum Indra jika ia tahu
abangnya membawa uang. Surya tersenyum sendiri. Ia mempercepat langkah kaki
nya.
Saat telah sampai dipekarangan dan hendak membuka pintu,
orang yang didalam yang tidak lain adalah Indra telah membuka pintu terlebih
dahulu, ia kaget mendapati abangnya ada di depan pintu, tapi wajah Indra
memancarkan kecemasan.
“abang
udah pulang. Duduk dulu, bang. Ambil minum sendiri ya bang, Indra keluar
sebentar.”
Surya
tidak sempat menanyakan mau kemana, karena Indra sudah menghambur keluar rumah.
Mata surya mengikuti kemana tubuh Indra pergi, sampai Surya juga sempat melihat
Indra tengah berbincang-bincang dengan seseorang yang dari perawakannya Surya
kenal, tapi karena jarak yang cukup jauh Surya tidak bias mengenali siapa yang
berbicara dengan Indra.
Surya
mulai tidak memperdulikan kemana Indra pergi, Surya lalu duduk di kursi kayu
rumahnya, menghembuskan nafanya, meregangkan badannya yang pegal berjejal di
bus tadi. Surya berdiri mengambil segelas air minum, ia lalu tersenyum
memikirkan bagaimana menggunakan uang lima juta tersebut. Tak lama kemudian
Indra kembali dengan raut muka yang sedih.
“bang,
Indra pergi dulu. Yoga temen Indra meninggal. Abang tau kan Yoga?”
Surya
mengangguk, “kenapa dia meninggal?”
“Yoga
sakit, bang. Udah lama. Katanya kanker. Hari ini harusnya dioperasi. Tapi telat
bang, biaya operasinya hilang dicopet di bus kata ibunya.”
Keringat
dingin mulai membasahi wajah Surya, Surya menyambar segelas air yang sudah
dibawanya tadi, “berapa uang yang hilang itu, ndra?” Tanya Surya dengan suara
bergetar.
“Lima
juta, bang. Dicopetnya di bus dari Jakarta.”
PRANG,
gelas yang dipegang Surya terlepas dari pegangannya.
“BANG,
ABANG KENAPA?”
No comments:
Post a Comment